Bunda, engkau adalah nadi di denyut kehidupanku. Engkau adalah sekolah pertamaku, juga universitas terpadu dalam menimba ilmu.
Bunda, engkau mata air cinta yang tak pernah kering. Kau bimbing aku mengasihi
yang ada di langit, juga semua yang pernah singgah di bumi. Perkataanmu
selalu kuingat: “ Nak, manusia yang paling sukses adalah yang
bermanfaat bagi orang banyak.”
Bunda,
engkau adalah motivator yang tak pernah menyerah. Engkau terus
mendorongku untuk mengambil peran-peran protagonis dalam kehidupan.
Engkau memotivasi aku untuk menggerakkan, bukan menunggu digerakkan.
Suatu hari engkau berkata, “Jangan pernah berhenti membaca dan menulis, anakku.”
Aku bertanya, “Apa yang harus aku baca Bunda? Apa yang mesti kutulis?”
“Bacalah
dirimu sendiri, keluargamu, sekitar, masyarakat, rupa, cuaca, semesta
dan segala. Dan tulislah semua yang menyentuh nuranimu,” katamu. Engkau
bimbing aku untuk tak hanya menulis di atas selembar kertas putih, namun
pada akal dan hati yang paling bersih.
Bunda.
Engkaulah yang dengan mata kaca mengecup semua luka yang datang, sambil
membangun benteng ketabahan dalam diriku. Di kala sukses menjelang,
engkau mengingatkanku untuk rendah hati serta tak lupa pada mereka yang
lemah dan tertinggal di belakang. Engkaulah yang selalu terbangun di
tengah malam, menjaga keluarga dan semesta dengan doa-doa.
Ah, bagaimana aku bisa semulia engkau, Bunda?
Kini
waktu berlalu. Aku pun tumbuh menjadi ibu sepertimu. Sungguh, bunda,
akan kudidik buah hatiku sebagaimana kau membimbingku. Bukankah aku
sudah hafal rumus dalam kamusmu? Mengasihi, terus belajar, kreatif,
mengambil peran protagonis dan bermanfaat bagi orang banyak.
Bundaku,
perempuan tempat cinta dan ketangguhan lahir setiap hari. Bahkan
berjuta kata tak akan bisa merangkaikan kekagumanku padamu.
Terimakasih, cinta abadiku: bunda…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar